Laman

Rabu, 30 Desember 2009

Jumat, 25 Desember 2009

Selasa, 22 Desember 2009

Perangkat Pembelajaran SMP

untuk sahabat yang berminat dengan perangkat kelas 7 silahkan klik di http://www.4shared.com/file/163147365/b36407c5/Prngktngajarkls7.html; perangkat kelas 8 klik di http://www.4shared.com/file/163147931/c4e9b24f/Prngktngajarkls9.html; dan untuk perangkat kelas 9 klik di http://www.4shared.com/file/163147931/c4e9b24f/Prngktngajarkls9.html

Selasa, 15 Desember 2009

Haruskah Menghitamkan LJUN

Seorang siswa SMP mengeluh pada saya tentang waktu pengerjaan soal yang sangat terbatas. Untuk mengerjakan soal Matematika misalnya, siswa tersebut mengatakan bahwa waktu yang disediakan habis untuk menghitamkan jawaban pada LJUN. Bahkan gurunya sering mengingatkan bahwa ketika menghitamkan bulatan huruf pada LJUN harus penuh. Benarkah demikian? Lalu mengapa kalau terjadi coretan dikatakan akan mempengaruhi jawaban? Kemudian, anak SD mengerjakan Ujian cukup dengan menyilang huruf pada LJUN, dalam sebuah lomba mata pelajaran (baca ; Olympiade Sains Nasional) peserta juga cukup menyilang kotak jawaban. Kalau hanya dengan menyilang pada kotak atau lingkaran Lembar Jawaban, dan bisa terbaca komputer scan, mengapa bisa? mengapa pula dalam Ujian Nasional harus menghitamkan seluruh bulatan, yang pasti akan mempersulit dan membebani siswa?
Terlepas dari kontroversi pelaksanaan UN Bapak Menteri, ataupun yang membuat kebijakan, tidakkah menjawab dengan cara menghitamkan lingkaran huruf pada LJUN bisa diganti dengan cukup menyilang huruf jawaban? Sehingga siswa memiliki cukup waktu untuk mengerjakan Ujian?



Sugito
(Pemerhati Pendidikan)
Rowobelang 02/02 Batang 51222

Selasa, 01 Desember 2009

Ekstra Rebana






Wajah - wajah siswa SMP 1 Warungasem peserta ekstra kurikuler rebana "Husna Nada"

Mari mendidik jangan sekedar mengajar

GURU: MENDIDIK ATAU MENGAJAR
Sebagai seorang guru yang juga pernah mengenyam pendidikan di sekolah, maka saya sangat setuju dan bisa merasakan kerisauan yang dialami oleh ibu Dwi Astuti pada rubrik Suara Guru (Suara Merdeka, Kamis, 19 Nopember 2009). Ibu Dwi Astuti betul, jaman memang telah berubah, ketika sekolah dulu, betapa kita sangat menghormati guru, bahkan sampai sekarang, terhadap “mantan” guru sekalipun, yang bisa jadi sekarang adalah bawahan, karena kita telah menjadi kepala sekolah, rasa hormat itu masih ada. Namun, berharap untuk merasakan keadaan seperti ketika kita sekolah dulu, barangkali hanya mimpi.
Saya tidak tahu, padahal guru kita waktu itu hanya menggunakan metode ceramah dan ceramah. Jarang sekali murid berani bertanya kepada guru, sekalipun ia tidak tahu, apalagi (metode) diskusi? Padahal guru kita waktu itu hanya lulusan SPG/PGA. Terhadap mereka, kita rela membungkukkan badan ketika berlalu dihadapannya, rela berhenti dan memberi jalan ketika guru terlihat sejalan dengan kita, rela membawakan buku atau tas mereka, rela merapikan meja guru di kelas dan berbagai hal yang –sangat sulit kita temui sekarang ketika kita telah menjadi guru dengan gelar Sarjana, atau bahkan Master atau malah Doktor. Padahal berbagai macam pelatihan, penataran, seminar, bahkan diklat telah kita ikuti. Berbagai metode kita kuasai. Bahkan diantara kita telah dinyatakan sebagai guru yang professional, karena telah lulus sertifikasi. Barangkali inilah buah dari telah bergesernya sekolah sebagai institusi pendidikan menjadi sekedar tempat pengajaran. Dari transfer of value menjadi sekedar transfer of knowledge saja.
Benarkah orientasi sekolah telah berubah?
Ketika sekolah, ada seorang teman (sebut saja badung) yang, jika dilihat dari nilai ulangan dan hariannya tidak terlalu jelek. Dia tidak naik kelas. Namun, teman lain (sebut saja untung) yang nilainya tidak lebih baik dari badung, ia justru naik kelas. Usut punya usut, ternyata badung tidak naik kelas karena dalam “daftar nilai” Bapak/Ibu guru perilakunya kurang baik –untuk tidak mengatakan jelek. Dari sini terlihat, betapa akhlak seorang siswa berpengaruh terhadap pertimbangan kenaikan kelas. Tapi bagaimana dengan kita sekarang, ketika rapat kenaikan kelas? Masukkah pertimbangan Guru Agama tentang akhlak seorang siswa, atau catatan kepribadian siswa dari guru BK? Atau hanya formalitas untuk memenuhi tuntutan administrasi raport saja? Atau kita hanya akan berkilah dan saling melempar tanggung jawab.
“Pembinaan kepribadian itu kan tugasnya guru BK”. Bagi guru BK akan mengatakan, “kaitannya dengan akhlak harusnya tanggungjawab guru agama”. Guru agamanya pasti akan mengelak, “materi tentang akhlak sedikit, jam mengajarnya juga hanya 2 (dua) jam bagaimana sempat membina akhlak?”. Adapun guru yang lain (dan merupakan kebanyakan kita, guru yang sekaligus orang tua siswa) akan mengatakan, “yang penting kan anak lulus UN, toh kelulusan tidak ditentukan oleh baik atau tidaknya akhlak siswa”.
Perubahan orientasi pendidikan yang terjadi hampir di semua sekolah, nampaknya di amini oleh orang tua dengan ramai-ramai mengirim anak-anak kita ke berbagai lembaga kursus. Orang tua rela mengeluarkan biaya tidak sedikit agar anaknya tidak menjadi malu ketika debat dengan menggunakan bahasa Inggris. Orang tua rela membelikan laptop dan mengkursuskan anaknya, agar ketika di kelas si anak tidak dikatakan gagap teknologi. Sehingga yang menjamur adalah bisnis tempat kursus. Namun, berapa rupiah mau kita keluarkan demi menjaga akhlak anak kita.
Suatu ketika saya bertanya kepada seorang ustadz di sebuah lembaga pendidikan al-Qur’an, berapa seorang santri membayar infaq dalam 1 bulan?, Rp 5.000,- jawabnya. Jika sebulan 5.000 rupiah, maka hanya 60.000 rupiah dalam satu tahun. Dan jika untuk membayar kursus atau les anak kita, berapa kali? Atau malah hanya cukup untuk membayar uang pendaftaran saja?
Sangat timpang apa yang telah dan akan selalu kita pikirkan dan lakukan dalam rangka menjaga akhlak anak-anak kita, juga anak didik kita. Maka mari kita tanya nurani kita. Akan mementingkan otak dengan mengabaikan akhlak, atau mendahulukan akhlak kemudian otak anak dan anak didik kita, atau mengusahakan sinergi keduanya, sehingga mereka anggun dalam moral dan unggul dalam intelektual? Mari kita lakukan. Lakukan dari diri kita, dari keluarga kita dan dari lingkungan dan lembaga kita. Mulai dari cara kita memandang persoalan ini, mulai dari cara kita mendidik anak kita disekolah juga di rumah, mulai dari cara kita menggunakan metode, mulai dari cara kita memberi contoh dan teladan. Selamat Hari Guru!
Sugito, Guru SMP N 1 Warungasem Kab. Batang